My Father Is My Hero

Foto Bapak NgainunNgainun ini nama dari bapak saya, lahir 12 Desember 1953 kurang lebih sudah berumur 58 tahun. Walaupun bapak saya pernah cerita kalau tanggal lahirnya yang tepat tidak bisa dipastikan, Maklum jaman dahulu belum ada akta lahir atau alat yang digunakan untuk pengingat tanggal dan tahun. Biasanya orang diingat lahirnya berdasarkan peristiwa yang terjadi pada waktu tersebut. jadi validitasnya sangat diragunakan.

Ngainun dalam bahasa arab artinya mata, mungkin maksud dari simbah saya karena mata itu adalah sumber masuknya informasi dan menjadi orang yang memiliki wawasan yang luas dan dahulu mana-mana itu kebanyakan hanya simple dan cukup satu kata. Sekali lagi ini hanya persepsi saya, sampai tulisan ini saya posting, belum saya cross cek dengan simbah saya (danuri).

Dilahirkan dari pasangan Danuri dan Sumirah di dusun Serut, desa Ponjong, kecamatan Ponjong kabupaten Gunungkidul. Menjadi anak sulung dari 10 bersaudara dengan komposisi 9 laki-laki 1 perempuan .Tambah 1 orang dah kesebelasan bisa main bola.he..he…he.

Semenjak kecil bapak sudah ikut dengan simbah buyut saya,jadi dari kecil sudah terbiasa mandiri.Pekerjaan sehari-hari mencari rumput, bertani dan mandiin dan ngasih makanan sapi sama kuda.Maklum simbah buyut saya berprofesi menjadi pedagang polowijo(kacang, kedelai, gaplek,jawut,padi) lintas provinsi. Pada waktu itu kuda merupakan alat transportasi yang paling top pada jamannya. Kira-kira kalau sekarang ya kendaraan roda empat.

Sesekali bapak saya diajak simbah buyut saya untuk pergi kepasar, membantu membawa barang dagangan dan membantu berjualan juga. Setelah selesai jualan diajak beli jajanan (moci sama makan pindang daging sapi) makanan khas Ponjong.

Kondisi yang demikian tentunya mempengaruhi pola pikir dari bapak saya dan simbah buyut saya. Bahwa yang penting itu nyari duit, urusan membaca, berilmu dan sekolah itu nomor sekian.

Simbah buyut saya juga tipikal orang yang kurang memperhatikan pendidikan , asal bisa baca tulis, bisa hitung menghitung sudah bisa diajak untuk jualan sudah dianggap baik.

Tradisi itu yang coba dirubah oleh bapak saya, setelah lulus SM P , bapak tidak jadi pedagang dan mencoba mengubah alur berfikir orang tua dengan melanjutkan sekolah di SMA.

Pada waktu itu Sekolah SMA harus ngalju karena kampus ada di kota wonosari, dengan sepeda buntut yang bannnya diisi kain bekas, Kalau tidak ngampus tapi rela menunggu dengan jam-jam tertentu, atau kadang harus berpeluh keringat karena harus berjalan kurang lebih 15 KM pulang pergi.

Saya ingat waktu sekolah SMA , jika bapak bercerita pada saat jalan kaki, pergi sebelum subuh dan pulang sampai rumah sudah jam 9 malam. Itu terpaksa dilakukan jika tidak ada ongkos untuk naik angkot.

Untuk menyiasati hal tersebut, beberapa hari kadang bapak ngekost di wonosari , dan pulang biasanya kalau hari sabtu.

1 tahun , bapak bertahan dalam kondisi yang serba kekurangan, kekurangan secara finansial karena sangu yang kadang tidak sampai hari sabtu sudah habis, dan juga tekanan orangtua terutama simbah buyut yang menginginkan lebih baik berdagang daripada melanjutkan sekolah di SMA.

Selanjutnya , ada angin segar untuk pendidikan di Ponjong. Dengan dibukanya SPG (Sekolah Pendidikan Guru) Muhammadiyah Ponjong. Sekarang sudah menjadi SMIK (Sekolah Menengah Industri Kerajinan) Muhammadiyah Ponjong.

Akhiranya dengan berbagai pertimbangan, ayah saya memutuskan untuk pindah sekolah ke SPG Muhammadiyah Ponjong. Dan pada waktu itu ada penyetaraan , bapak saya bisa pindah langsung masuk di kelas 2.

Dan inilah titik awal bagi bapak saya untuk memulai merintis untuk berprofesi  menjadi pendidik atau lebih menterangnya menjadi Guru (digugu lan ditiru). Akhirnya setelah berkutat dengan dunia tulis menulis, konsep-konsep pendidik dan praktek mengajar, akhirnya ayah saya lulus dari Sekolah Pendidikan Guru ( SPG) dan siap untuk menjadi pendidik .

2 Comments

Tinggalkan Balasan