Pahlawan bukanlah orang suci dari langit yang diturunkan ke bumi untuk menyelesaikan persoalan manusia dengan mu’jizat secepat kilat untuk kemudian kembali ke langit. Pahlawan adalah orang biasa yang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar dalam sunyi yang panjang sampai waktu mereka habis. (M. Anis Matta. Lc)
Ketika mendengar kata “pahlawan”, mungkin yang terbayang di pikiran sebagian kita adalah sosok para pejuang yang tercatat namanya dalam sejarah.AdaTeuku Umar dan Cut Nyak Dien, sebagai misal, pahlawan dari serambi Mekah.Adapangeran Diponegoro dari Jawa. Ada Sultan Hasanudin dan Pattimura dari wilayah timur Indonesia. Anggapan itu memang tidak salah, namun juga tidak sepenuhnya benar.
Pahlawan tidak melulu didominasi oleh mereka yang namanya tertoreh dalam kenangan historis. Pahlawan lebih merupakan tindakan ketimbang sebagai sebuah status. Terkadang, adaorang yang kita sangka besar ternyata tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan besar. Seringkali banyakorang yang kita sangka pahlawan pada galibnya memiliki perilaku yang jauh dari sebutan pahlawan (baca: pecundang), yang bersembunyi di balik topeng kepahlawanannya yang sudah dimafhumi secara umum.
Pahlawan bukanlah sebuah gelar. Ia lebih merupakan aksi riil seseorang dalam memberikan kontribusi positif terhadap sekitar. Yang mendasari tindakan kepahlawanan adalah kemampuan dan keinginan seseorang untuk menjadi bermanfaat bagi orang lain. Pahlawan adalah ia yang selalu memikirkan kebahagiaan orang lain. Ia memiliki kesadaran untuk menjadi lebih berarti bagi orang lain. Namun, konsekuensinya ia juga sanggup berada under pressure dalam masa yang panjang yang seringkali terasa senyap.
Pun pahlawan bukanlah sesuatu yang built in. Jiwa kepahlawanan tidak diwarisi karena keturunan. Seorang ayah yang pahlawan belum tentu melahirkan anak yang pahlawan juga. Setiap orang memiliki peluang untuk menjadi pahlawan. Tapi perlu kita ingat, pahlawan tidak mesti selalu disebut-sebut orang atau tertulis dalam buku diktat sejarah. Pahlawan, seperti yang disebutkan Rasulullah SAW, adalah sosok-sosok al-atqiyaa’ al-akhfiyaa’ –mereka yang senantiasa berusaha melakukan kebaikan dalam keadaan sunyi, tanpa sepengetahuan orang lain, tanpa pamrih untuk dikenang.
Lantas, bagaimana membuat diri kita menjadi sesosok pahlawan? Paling tidak ada limahal –sebagaimana yang tercerap dari Mencari Pahlawan Indonesia, karya M. Anis Matta—yang perlu kita perhatikan untuk kemudian kita lazimkan:
1. Temukan Motif
Langkah pertama yang perlu kita lakukan adalah mencari tahu alasan apa sebenarnya yang mendorong kita untuk menjadi pahlawan. Apakah lantaran dorongan popularitas, privileges (hak-hak istimewa yang ingin diperolah), ataukah murni ingin menjadi seorang yang bermanfaat? Selayaknya hanya ridha Sang Kekasih, rabbul izzati, yang menjadi tujuan, yang menjadi landasan dalam bertindak. Setelah itu, kita tetapkan selalu motif tersebut dalam diri, setiap saat, setiap waktu. Setiap aktivitas yang kita lakukan semata mengharap teduh wajah-Nya. Seorang pemuda yang khusyu’ shalat di masjid, benar-benar menjalankan ibadahnya itu semata agar diterima Allah. Bukan lantaran di belakangnya ada calon mertua yang memperhatikannya. Seorang korlap yang berorasi dengan heroik di hadapan kawan-kawannya semata ingin melantangkan kebenaran. Bukan karena ingin menarik simpati pujaan hati yang berada di antara kerumunanmassa aksi. Motif yang benar akan memberi pasok energi tiada henti bagi kita untuk terus bergerak.
2. Rumuskan daftar kerja
Selanjutnya kita buat daftar kebutuhan umat. Akan muncul begitu banyak hal yang menjadi hajat hidup kebanyakanorang, bila kita cermat mengamatinya. Memang tidak akan mungkin kita memenuhi semuanya. Yang mesti kita lakukan selanjutnya adalah memilih satu atau beberapa bagian dari kebutuhan tersebut dimana kita bisa ambil peran. Dalam membangun sebuah rumah, tidak semuaorang mesti menjadi arsitek. Diperlukan juga tukang batu, tukang kayu, juga bagian konsumsi yang menyediakan makan siang bagi para pekerja agar stamina yang sudah terkuras kembali pulih. Kita tidak bisa menafikan satu peran dan lebih menonjolkan peran yang lain. Kesemuanya mempunyai andil. Tinggal sekarang kita pilih peran mana yang sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas kita.
3. Kembangkan kapasitas diri dari waktu ke waktu
Sejarah membuktikan bahwa orang besar biasanya memiliki karya yang original (asli, belum ada yang melakukan sebelumnya) dan berbobot. Kita mengenal Syaikh Yusuf Al Qaradhawy yang buku-buku karyanya menjadi referensi utama dalam permasalahan umat Islam kontemporer. Ketika beliau ditanya apa yang menjadikan karya-karya beliau begitu meledak di pasaran, beliau menjawab bahwa beliau sangat memperhatikan kualitas tulisan pertamanya. Ketika karya pertamanya mendapat tanggapan yang baik, maka karya-karya berikutnya tinggal mengikutinya. Dan benar, buku pertamanya, Al-Halal wal-Haram fil-Islam (Halal dan Haram dalam Islam), menjadi buku best-seller. Selanjutnya, beliau menjadi lebih bersemangat untuk menulis lebih banyak buku. Buku-buku karyanya yang diterbitkan setelahnya pun laris manis di pasaran dan kualitasnya juga tidak diragukan.
4. Jaga konsistensi
Ketika ketiga langkah di atas sudah kita jalani, yang perlu kita lakukan selanjutnya adalah menjaga konsistensi (keajegan) kita untuk terus melakukannya. Tidak semestinya kita cepat merasa puas dengan hasil yang sudah didapat, karena hal ini dapat mematikan inovasi dan kreativitas kita. Tidak sepatutnya pula kita menjadi jumawa, mudah tersanjung dengangelar yang diberikanorang. Sanjungan memang hal yang wajar. Tapi, jangan sampai sanjungan itu menjadi sandungan yang membuat kita terpuruk
5. Fokus
Adasebuah cerita menarik mengenai fokus ini. Tersebutlah seorang dari Solo hendak pergi ke Jakarta. Di tengah perjalanan, ia mendapati sebuh pertunjukan jathilan (semacam pertunjukan kuda lumping). Ia pun penasaran dan turun dari bus yang ditumpanginya untuk melihatnya. Jarang-jarang ada pertunjukan seperti ini jaman sekarang, eman kalau dilewatkan, pikirnya. Setelah puas menikmati pertunjukan, ia pun melanjutkan perjalanannya. Namun tidak lama kemudian ia melihat seorang kumal yang dikerubuti banyak orang. Selidik punya selidik, orang berbaju kumal itu adalah seorang gila yang sedang ditanyai nomor togel (coba, mana yang lebih gila?!). Alih-alilh meneruskan safarnya, ia malah turut sibuk minta nomor dan bersama orang-orang yang mewancarai orgil tadi menuju bandar untuk mencoba “peruntungannya”. Begitulah. Setiap ditemuinya hal-hal yang menarik dalam perjalanan, ia senantiasa tergoda untuk “menyelidikinya”. Meski ia tahu bahwa sebenarnya hal itu tidak menambah bekal bagi perjalanannya sedikitpun. Perjalanan Solo-Jakarta yang biasa ditempuh dalam waktu 12 jam menggunakan bus, akhirnya molor menjadi berminggu-minggu. Bekalnya pun menipis, bahkan nyaris ludes.
Ketika kita sudah memilih sebuah jalan yang kita yakini, semestinya kita kukuh untuk tetap menapakinya. Tidak mudah tergoda atau terkecoh dengan sesuatu yang gemerlap. Karena bisa jadi ia hanya menjadi penghambat bagi kita untuk sampai ke cita tujuan. Seseorang harus fokus pada intuisinya (suara dalam jiwanya) sendiri sehingga ia akan tetap fokus padausahanya untuk melahirkan karya-karya besar.
Itulah kelima langkah yang bisa kita tempuh untuk melahirkan tindak kepahlawanan. Akan tetapi, setelah menjadi pahlawan bukan berarti kita meninggalkan jati diri kita sebagai manusia. Pahlawan juga manusia (mengadopsi syair lagu Seurieus) seperti manusia pada umumnya yang mengalami permasalahan hidup, situasi kekanakan, dan juga jatuh cinta. Kita mengenal Umar bin Khattab ra, sesosok pahlawan mukmin sejati, sebagai seorang yang teguh memegang prinsip, tegas membedakan antara yang haq dan batil. Namun suatu ketika beliau berpesan, “Jadilah kamu bak singa di hadapan musuhmu, tapi buatlah dirimu seperti bayi ketika berada di pangkuan istrimu.” Inilah yang membuktikan bahwa pahlawan pun tetaplah seorang manusia.
Yang menjadikannya berbeda adalah pahlawan mampu melakukan kebaikan dalam sebuah momentum yang nilainya melebihi seluruh masa hidupnya. Kelemahan-kelemahan personal yang dimilikinya tidak menjadi halangan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan besar. Yang terpenting baginya adalah nilai karyanya mampu melebihi kekurangan-kekurangan tersebut.
Menjadi pahlawan adalah sebuah pilihan hidup, bukan nasib. Dan semestinya kita tidak puas hanya menjadi teman atau kenalan seorang pahlawan. So, mari kita raih takdir kita sebagai pahlawan, baik kita akan dikenang atau tidak.